Agama

Living Qur’àn MTQ ke-38 Sumut, Filsafat Gerak Qur’ànì : Dari MTQ ke Fastabiqù Al-Khairàt

Oleh: Dr. Solahuddin Harahap, MA
(Ketua Gerakan Dakwah Kerukunan dan Kebangsaan)
Faktaonline.com –  Salah satu ‘pekerjaan rumah’ paling berat saat ini bagi para intelektual adalah masih tingginya kesenjangan antara laju dialektika ide (teoritis) dengan dialektika aksi (praktis) pada berbagai bidang atau disiplin ilmu pengetahuan.

Sebagai dampaknya, lahirlah sejumlah dialektika sosial yang tidak didasarkan kepada ide atau teori yang baik dan tentu saja hal ini telah memberi pengaruh kepada arah kemajuan peradaban manusia.
Sejatinya, salah cita-cita yang mendasari lahirnya revolusi industri digital yang saat ini sudah pada fase 4.0 adalah untuk meretas atau setidaknya memperkecil kesenjangan di atas. Teknologi digital telah berjasa  mensupport laju dialektika teoritis secara signifikan.

Pada saat yang sama ia juga telah membantu mendekatkan masyarakat dengan teori-teori tersebut bahkan membantu dalam implementasinya dalam kehidupan atau aksi.
Namun, terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa kehadiran teknologi digital tidak terlalu sukses dalam mendamaikan kesenjangan antara dialektika ide dengan aksi, malah dalam beberapa hal ia telah memperparah kesenjangan tersebut. Benar bahwa teknologi digital telah mepercepat gerak dialektika ide, akan tetapi pada saat yang sama ia juga telah berkontribusi dalam mendgradasi atau parsialisasi ide  dengan dalih percepatan, efesiensi dan epektivitas.

Degradasi atau parsialisasi ide ini dapat diduga telah menegasikan satu aspek fundamental suatu ide atau mau kita sebut ‘ruh suatu ide’. Dengan kata lain digitalisme tidak hanya mencoba melakukan mekanisasi atau mesinisasi terhadap benda atau fisik tetapi juga terhadap ide bahkan terhadap jiwa demi alasan percepatan. Suatu ide disebut parsial adalah ketika ide tersebut tercerabut dari aspek sakral dan prinsip kearifan budaya audience-nya. Bahaya dari parsialisasi ide ini adalah parsialisasi atau praktisasi (serba praktis) sikap dan aksi dalam kehidupan.

MTQ DAN DIALEKTIKA IDE

Hampir semua atau semua jenis perlombaan dalam MTQ berada pada ranah ide dan belum menyentuh ranah aksi. Tetapi jika berbagai jenis perlombaan ini dapat dikonstruk secara sistemik mulai dari  Qira’at, Kitàbah, Tilawah, Hifzu, Tafsir, Fahmil dan Syhril akan ditemukan bahwa MTQ ini merupakan salah satu pola membangun ide yang benar-benar baik, kuat dan berkarakter.

Sebuah ide yang lahir dari konstruksi MTQ ini akan memiliki keterpautan yang kuat dengan dimensi sakralitas (wahyu) seterusnya dengan Allah Swt sebagai Sang Pencipta. Ide ini juga akan memiliki fondasi estetika dan seni yang mendalam, miliki keterhubungan dengan prinsip-prinsip luhur akhlak al-karimah, memiliki akar kearifan budaya yang kokoh.

Pendeknya MTQ ini mengisyaratkan pentingnya suatu ide mendapat sinaran dari Allah Swt, terigtegrasi secara baik dengan prinsip dan nilai luhur universal, serta terakulturasi secara filosofis ole nilai kearifan budaya bangsa.

Ide dengan konstruksi demikian diyakini dapat melaju dengan cepat dalam  boncengan teknologi digital, dan tetap akan terhindar dari bahaya degradasi dan parsialisasi. Lebih jauh, dari ide yang demikian inilah akan lahir aksi-aksi sosial yang pro kepada ketuhanan, kemuliaan, kemartabatan, keindahan, serta kearifan budaya bangsa.

Aksi-aksi dengan karakter seperti inilah yang dapat dirajut untuk membangun suatu peradaban dunia yang maju dan bermartabat ( thayyibatun wa rabbun gahfùr).

FASTABIQÙ AL-KHAIRAT DAN FILSAFAT GERAK

Al-Qur’àn telah mendeklarasikan bahwa kehadirannya di bumi adalah untuk beberapa tujuan yang sangat substantif. Tujuan-tujuan itu tidak hanya meliputi dimensi keimanan, keagamaan, moral, dan ide tetapi lebih jauh meliputi dimensi aksional dalam kehidupan di bumi bahkan pasca bumi yakni barzakh dan akhirat (eskatologis).

Al-Qur’àn misalnya telah menstate bahwa Ia hadir sebagai “hudan lilmuttaqìn”-pemberi guidance bagi orang bertaqwa yakni mereka yang membangun komitmen untuk menjadikan Tuhan sebagai Guru Sejati lewat kepatuhan kepada Rasulullah Muhammad Saw. Kata “hudan” atau pemberi pentunjuk disini meliputi petunjuk bagi akal, jiwa, intuisi, rasio, panca indra, sehingga terjadi keselarasan antara iman, nalar,  kata, sikap dan aksi.

Manusia yang memperoleh “hudan” dari al-Qur’àn adalah mereka yang mampu menyelaraskan antara iman, nalar, kata, sikap dan aksinya secara konsisten sehingga mereka disebut sebagai manusia yang dalam kategori bermartabat taqwa atau “al-muttaqìn”. Hal ini dengan tegas disebutkan pada ayat 2 Surat al-Baqarah bahwa al-muttaqìn adalah mereka yang secara konsisten dalam menjaga keimanan kepada Allah Swt, memdirikan shalat dan bershalawat kepada Rasulullah Saw, serta memanfaatkan rezeki yang diperolehnya untuk kepentingan kehidupan dan peradaban.

Al-Qur’àn juga menjelaskan bahwa kehadirannya di bumi adalah “tibyànan likulli sya’i” pada Q.S al-Nahl:89. Ayat ini menjelaskan bahwa al-Qur’àn merupakan kunci sekaligus gerbang untuk memasuki dimensi-dimensi yang padanya tersimpan rahasia atau hakikat segala sesuatu. Al-Qur’àn dapat menjadi gerbang untuk memasuki lorong keghaiban hingga kepada dimensi dimana memungkinkan dilakukan pertemuan bahkan kebersatuan dengan Zat Allah Swt.

Al-Qur’àn juga dapat menjadi gerbang untuk memahami hakikat alam ruh, alam barzakh, alam jiwa, serta alam materi.  Al-Qur’àn tidak hanya menuntun kepada pemahaman, tetapi juga akan mendampingi manusia agar dapat berinteraksi dengan alam ruh, barzakh, jiwa, dan matari tersebut serta dapat memanfaatkan interkasi tersebut sebagai modal dalam membangun dan menggerakkan kehidupan dan peradaban di bumi (fastabiqù al-khairàt).

Diduga bahwa Rasulullah Muhammad Saw, telah bersabda bahw Islam yang identik dengan al-Qur’an adalah shàlihun (bermanfaat dan aktual) untuk setiap era dan setiap tempat. Dalam posisi Rasulullah Saw, sebagai manusia yang paling akrab bahkan identik dengan al-Qur’an itu sendiri, maka sabda ini dapat dijadikan landasan untuk menegaskan betapa al-Qur’an samasekali tidak memiliki sekat dari aspek ruang maupun waktu dan dengan demikian dari aspek gerak, al-Qur’an dapat memiliki laju yang demikian cepat dan akurat.

Sehingga jika misalnya laju peradaban (ide, moral dan aksi) disandarkan kepada al-Qur’an inu, maka ia akan mengalami percepatan yang luar biasa dan tanpa batas.
Jika percepatan yang menjadi misi digitalisme telah menjadi suatu persoalan bagi penyelelarasan antara dialketika ide, moral, serta aksi kehidupan dan peradaban. Maka digitalisme (4-9 G) disini harus dipautkan dengan al-Qur’àn yang tanpa batas (G tanpa batas), sehingga ketika suatu ide terancam kehilangan substansi karena tuntutan digitalisme, maka segera ide ini dipautkan dengan al-Qur’àn sehingga dalam percepatan yang sangat maksimal sekali pun, ide tersebut tidak perlu harus mengalami degradasi atau parsialisasi.

PENUTUP

Kita selalu berdo’a semoga Allah Swt, menganugerahkan rahmat-Nya dengan menjadikan al-Qur’àn sebagai imam (imàman), penuntun (hudan), dan rahmat (rahmah) dalam setiap aspek kehidupan kita mulai dari ide, moral, hingga aksi dalam kehidupan. Lewat cara inilah kita akan mampu melahirkan apa yang mau disebut sebagai ‘dialektika qur’àny’ yang meliputi dinamika ide, moral, budaya dan aksi dalam cahaya wahyu ilahi. Dialektika ini akan melaju tanpa hambatan dan akan tetap berkarakter demikian meski saat berhadapan dengan teknologi digitalis, sebab sejatinya alam digital berada jauh di belakang al-Qur’àn jika ditinjau dari aspek laju dialektikanya. Wallàhu A’lam. ***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *